Rabu, 22 Desember 2021
In Memoriam
setahun berlalu
kehilangan melewati pintu waktu
sungguh tak mudah menahan perasaan
melangitkan doa-doa, melepas kepergian
kelak rimbun kenangan akan selalu tersimpan
sepanjang ingatan
Tangerang, 16 Desember 2021
Catatan 11 Desember
yang pernah mengawali ingatan
dalam lembar demi lembar
perjalanan yang paling sabar
bertahan atas nama cinta
yang begitu sederhana
hingga tak ada cara lain menuju senja
selain menua bersama
Tangerang, 11 Desember 2021
Terpuruk Ingatan
terkutuklah engkau yang senantiasa
memenuhi kepala hingga rongga dada
bawa saja sebait, dua bait
kenangan yang bagiku teramat pahit
menanggalkan lorong kesepian
Selembar Daun
jatuh tergesa setelah hujan
dibiarkannya menguning -- berguguran
layu dalam potongan-potongan kenangan
sesaat sebelum kita menyusun segala kemungkinan
perihal selarik pertemuan
Tangerang 2021
Painting : Daun di Atas Air (Joko Supratikno)
Medium : Watercolor on Paper
Size : A3
Mungkin
mungkin kita tak perlu saling mengenal
agar di antara kita tak ada kata awal
hari-hari menjadi biasa
tanpa perlu menepis rasa
debar di dada tak lagi diungkap
percakapan demi percakapan hanya sesaat
bulu mata yang tiba-tiba terjatuh
bukanlah isyarat ampuh
untuk menyatakan rindu
-- yang terlalu
Tangerang, 1 Desember 2021
Hampir Sampai
pohon besar di depan pintu
masih berpagar kayu
sebentar lagi...
kita hampir sampai
di rumah. jendela-jendela yang terbuka
menyimpan ragam rahasia
hampir sampai
rumah kita yang sederhana
dengan bunga-bunga di beranda
dan kau yang selalu menunggu di sana
Empat Puluh Lima
tak lelah menggores kanvas aksara
puisi ini menjadi beranda
muasal huruf-huruf yang kerap dieja
segenap cinta tak mungkin habis ditera
demikianlah rindu yang menuju muara
deretan angka-angka dalam almanak
waktu tak pernah berhenti sejenak -- tak
Lukisan Senja
dengan langit berwarna jingga
hingga debar-debar di dalam dada
menemu alamat singgah
dalam sketsa-sketsa tanpa suara
seperti pijar kerinduan yang senantiasa
memberi tanda, di atas prasangka
Tangerang, 5 November 2021
Painting : Twilight (Joko Supratikno)
Medium : Watercolor on Paper
Size : A3
Dari Jendela
senyum yang menghilangkan cemas
dan rindu yang kian gegas
kata-kata yang bermekaran di dada
bermuara pada harap -- bahagia
mencatat sebaris nama
mengekalkannya dalam doa-doa
Teratai
memekarkan pagi, membuka awan
kelopak demi kelopak menebar kebaikan
menyalakan isyarat perjumpaan
pada waktu yang merambat perlahan
403 Forbidden*
deru napasmu di telinga kiri
memacu detak jantung tak henti-henti
bayang-bayang tak pernah absen
senantiasa hadir dalam setiap fragmen
untuk memadamkan segala letup
yang diam-diam hadir mewujud
Pada Memorabilia
katakata kelu menikam kalbu
ragam jejak masa lalu
diamdiam sembunyi di balik pintu
mungkin terlewat dicatat; atau
tenggelam oleh waktu
sungguh melupa -- pada memorabilia itu
Layu
daundaun kering yang terempas dari dahan
saat matahari menanggalkan sinarnya di batang kayu
pada selasela jemari ranting ada kenangan
yang tertinggal -- kelu
Selembar Daun Dalam Pagi
aku, sepasang daun
tepercik segarnya embun
kokoh menopang doa yang tertahan
mencatat adegan demi adegan
dalam helai-helai kenangan
Setangkai Senyum
semua helaian
daundaun. belum ada yang mampu
mengalahkan setangkai senyummu
di sudut bibir itu
Yang Mekar Ialah
ialah bungabunga tradescantia pallida
bukan rindu di dalam dada
yang kerap tinggalkan gelisah
kadang tumbuh, kadang tak juga
ingatan menghunjam tibatiba
pada ia yang pernah sungguh
-- yang ungu itu
---
sekerat harap terucap dalam payah
tubuh yang kian menggigil
seakan lebam duka kerap memanggil
menunggu waktu dari napasnapas yang tertahan
saat sepi menghempas perlahan
sebelum percakapan usai ditelan malam
Musim Kesedihan
seperti tangan yang terlepas dari genggaman
tiba-tiba musim menyanyikan lagu kesedihan
air mata pun luruh berjatuhan
sedang ingatan belum selesai dituliskan
lalu apa yang bisa dijadikan kenangan
hanya memar kepedihan -- di dada kanan
Tersesat
pada jarum jam yang berputar lambat
hari-hari jadi sedemikian padat
pada susunan abjad-abjad
yang senantiasa kau catat
di matamu; yang tak pernah abai menyapa
menebar berita demi berita
untuk kita nikmati bersama -- hanya berdua saja
Aku Lupa Menulis Puisi
hari ke hari membaca kata-kata yang riuh
huruf demi huruf kurangkai di kepala
tak ada yang mampu menyerupai, satu alinea saja
-- yang kau punya
dan aku pun lupa menulis puisi
Di Beranda
hujan yang tumpah sesekali, menyaru di batu-batu
endapkan kenangan yang merajam kalbu
kokoh diterbangkan angin yang gaduh
pada hati yang ingin, bersabarlah -- demi hasrat yang sungguh
Menempuh Sunyi
saat kau alpa menyapa
dunia seakan pekat, gulita
sepoi angin yang berhenti tiba-tiba
ribuan air menggenang di mata
hari-hari tak lagi sama
jarum waktu terhenti di sudut beranda
aku patah, tanpa alasan
menempuh sunyi tanpa sepenggal pesan
Tangerang, 15 April 2021
Alocasia Menggeliat
dengan ruas-ruas yang amat
nyata. alocasia menggeliat
meninggi sesaat
bertumbuh sepenuh berkat
---
diam-diam kerap memberi warna
menandai angka di ujung lima puluh dua
daun-daun dieffenbachia melambai mesra
pada januari yang bahagia
Calathea, Dalam Doa Perjumpaan
daun-daun calathea membuka
menadah bumi mencari cahaya
adalah tunas harapan
dalam kelopak kebahagiaan
Pawitra*
sedangkan ingatan padamu
mengeras di dinding batu
kerinduan hanya dapat dikenang
seberapa panjang penantian
mengulur sebuah perjumpaan
atau perjalanan hanya sebatas kenangan
Kremboong
Trawas
merentangkan setiap kerinduan itu
pada aroma senja yang terhidu
aku kian lelah merapal jejakmu
bayangmu menjauh, tergesa
seperti daun-daun yang gemetar
percakapan begitu hambar
Kenjeran
pada riuh ombak yang membelai
menyelam sajalah, atas nama masa lalu
mungkin lebih baik – daripada
selamanya menghilang
Aku Yang Patah
kepergian demi kepergian tak meninggalkan sisa
aku yang patah
dan tenggelam dalam gelisah
betapa hati ingin selalu tabah
namun air mata telanjur tumpah
dan kalah…
Embun
yang hadir di antara kesunyian
menetes di sela daun-daun
kau seakan memberi isyarat
pergi. meski aku memelukmu begitu erat
Lepas
dalam getar harap yang kian payah
sebaris nama memijak goyah
memupus angan yang entah
melangkahlah, tanpa pernah merasa salah
sebab hilang sudah
-- segala yang menjadi arah
Melepas Kepergian
tahun-tahun berlalu
tiba-tiba aku sudah kehilanganmu
almanak demi almanak terlewati begitu saja
kepergianmu ternyata meninggalkan nganga
mungkin, kau berharap tak ada air mata
nyatanya aku masih berkubang duka
kehilangan memang menyedihkan
kehilanganmu sungguh sangat menyakitkan
tapi kenangan akan selalu tersimpan
-- sepanjang ingatan
Tangerang, 16-18 Desember 2020
Suwung
selaksa hampa -- kesunyian yang setia menampung
kanvas kenangan. goresan kuas-kuas yang limbung
tak mampu melukis ingatan yang belum rampung
mungkin ada yang lain, yang diam-diam berkunjung
menikam belati di balik punggung
bersembunyi pada pekatnya mendung
Usaha Untuk Mencatat Rindu
membentuk rindu yang melulu bergetar
meski kita tak saling berkabar
pada layar. membaca sejumlah percakapan yang kacau
menulis, menghapus -- kata demi kata yang bertebaran
untuk mengulanginya kemudian
Saat Bersedih
meluluhkan biji-biji saga di samping pokok kamboja
saat gerimis diam-diam turun menyapa
rintiknya berjatuhan menghapus segala luka
Bungkam
pada hampir setiap malam-malam berlalu
sesaat setelah percakapan kehabisan waktu
yang tertinggal hanya kelu
pada apa-apa yang membuatku pilu
meski hangat kugenggam
tanganmu. namun biarkanku tetap; bungkam
Aku Merasa Seperti
aku seperti menjelma kuasmu
bergerak kanan-kiri tak menentu
melukis dinding-dinding waktu
menyusuri setiap sudut berliku
aku merasa seperti kanvas
kadang samar kadang jelas
sebagaimana kau senantiasa menggores
cemas, yang hadir tanpa batas
Tangerang, 21 Oktober 2020
Lelaki Yang Mencintai Dunianya
~ kepada pelukis, Rudy Adnan
dalam ruang kecil yang dipenuhi
goresan tangannya. tak peduli
hari panas maupun hujan memenuhi
derasnya menimbulkan gaduh
membuat daun-daun mengangguk rubuh
menerima tetesan air yang jatuh
di tempat yang sama -- di ruang kecil ini
hingga helai demi helai rambutnya
memutih. menandai perjalanan asa
ia melatih kesabaran, menempa intusi
hingga menyatu; merasuk di jiwa
segala goresan segala karya
Kaktus
: r.a.
di jemari kiri
kemarahan yang kaupendam sendiri
pada hal-hal yang tak pernah kumengerti
di sini, ada luka yang teramat nyeri
Sepasang Mata Yang Cemburu
: r.a.
satu harap terlepas sudah
saat sepasang mata menemu gundah
hati yang retak, dideru cemburu
membakar cemas yang semakin memburu
masihkah aku di dada kirimu?
-- sedang tatapan tak ingin bertemu
Tangerang, 14 Oktober 2020
Akhir Pekan
sudah akhir pekan, jangan kemana-mana
duduk di sini saja
mari melukis lagi
mainkan kuas dengan warna-warni
esok minggu kita ada janji
bertemu -- meski lewat mimpi
Kamis, 04 November 2021
Setapak Jalan Menujumu
: r.a.
di setapak jalan ini
daundaun menguning terbungkus sepi
harum lapisan tanah
menguar melewati celahcelah
basah. di antara lembab cuaca
dan pijar cahaya
di setapak jalan yang lindap
kesiur angin begitu senyap
seperti keresahan yang lama mengendap
kelak padamu semua menuju
kuala dari segala rindu
Tangerang, 8 Oktober 2020
#kolaborasipuisilukisan
Painting : Path in The Forest (Rudy Adnan)
Medium : Oil on Canvas Panel
Size : 40 x 50 cm
Bertumbuh
ia tak sama
bertumbuh di antara gigil udara
dan lembab cuaca
seperti rindu yang hadir di redup cahaya
terasing dalam belukar rahasia
yang terkadang membelit -- menyembunyikan bahagia
Tangerang, 29 September 2020
Kita Sempat Saling
: r.a.
kita sempat saling menahan debar
sekadar ingin menanyakan kabar
bertahan untuk tidak menyapa
saat tatapan kembali bersua
kita sempat saling berpura-pura
tak mengenal. padahal jemari terkait mesra
menjaga jarak sedemikian rupa
meski hati selalu ingin bersama
kita hanyalah dua orang asing
yang sempat saling
bertahan -- tak ingin berpaling
tapi itu tak mungkin...
Tangerang, 25 September 2020
Begitu Jauh
: r.a.
begitu jauh, hasrat yang terjatuh
diam-diam menyusup di ujung peluh
setiap tetes kuhitung sebagai rindu
berdenting pilu
telah begitu jauh, rekah gairah
sepenuh jiwa tercurah
hinggap di beranda waktu sebagai kau
yang fasih mendatangkan rindu
Tangerang, 24 September 2020
Hujan
hujan barangkali seperti ini; ketika ingatan tentang kau menderas
sebagai rindu yang cemas
setiap rintik yang jatuh di sudut teras
kuanggap adalah geletar tak berbatas
hujan barangkali seperti ini; ketika ingatan tentang kau mengalir
bayang-bayang yang senantiasa hadir
jatuh di ujung jemari sebagai takdir
yang enggan berakhir
Tangerang, 22 September 2020
Terjebak Rindu
: r.a.
adakah yang lebih biru dari merindu?
saat huruf-huruf jatuh di ujung jariku
waktu tiba-tiba membeku
kau selalu punya banyak hal untuk dikatakan
dan aku memilih membuka telinga -- mendengarkan
membayangkan tawamu yang candu
diam-diam hatiku terjebak, rindu
Tangerang, 20 September 2020
Perihal Melukis
suatu hari nanti kau lukis awan-awan
memberi warna biru pada ragam goresan
lalu kautambahkan hijau pohon
-- dan mungkin kelak kauganti dengan kuning
seperti rimbunan perdu puring
yang melambai di halaman depan
sejenak kau pun melupa, pada trauma masa silam
sebagai bagian dari sejarah kenangan
Tangerang, 29 Agustus 2020
Menunggu Pesan
di ruang sepia
kau terdiam menanti berita
menatap layar yang tak tertulis apa-apa
ada kabar yang terbakar
tanpa siap kau takar
segala kalut yang kian nanar
perihal mimpi buruk – mungkin ini yang kaumaksud
adakah yang lebih takjub?
selain merindu huruf-huruf pada deretan pesanmu yang guyub
Tangerang, 21 Agustus 2020 (am)
Di Layar Telepon Genggam
di layar telepon genggam nomormu tertera
tanpa percakapan apa-apa
rahasia demi rahasia tetap terjaga
mungkin akan begitu selamanya
di layar telepon genggam namamu membeku
serupa lumut di batu-batu
huruf-huruf tak lagi centang biru
seperti sederet pemahaman yang keliru
di layar telepon genggam
-- kita hanya diam
Tangerang, 20 Agustus 2020 (am)